Skip to content

Joko Anwar’s Nightmares and Daydreams – Season 1 review | Netflix

Rating: 3 out of 5.

Akhirnya yang dinanti tiba juga, series horror, sci-fi, dan anthology thriller dari Joko Anwar. Sejujurnya saya menantikan series ini karena sedikit berharap series ini akan menambah daftar series Indonesia favorit saya. Apalagi series ini membawa genre horror scifi yang masih relatif baru di Indonesia.

Sinopsis Tujuh Episode Nightmares and Daydreams

Series ini diawali dengan episode 1 yang berjudul “Old House”, dibintangi oleh Ario Bayu yang berperan sebagai Panji, seorang supir taksi yang menemukan sebuah panti jompo misterius untuk orang-orang kaya.

Lalu di episode kedua yang berjudul “The Orphan” menceritakan tentang pasangan pemulung yang mengadopsi seorang anak yatim piatu yang katanya bisa membuat kaya orang yang mengadopsinya, tetapi pada hari ketujuh orang tersebut akan meninggal.

Episode ketiga berjudul “Poems & Pain” menceritakan tentang seorang penulis novel yang ikut merasakan dan melihat apa yang dialami oleh karakter dalam novelnya, yang disekap di basement dan mendapat perlakuan kasar dari suaminya.

Di episode keempat “Encounter” diceritakan tentang seorang pencari kerang yang memotret sosok bercahaya di langit yang ia pikir adalah malaikat.

Episode kelima “The Other Side” menceritakan tentang seorang pria yang kehilangan waktu setiap kali ia masuk ke dalam bangunan terbengkalai dimana dulunya merupakan bioskop tempatnya bekerja.

Episode keenam yang berjudul “Hypnotized” bercerita tentang seorang pria buta warna yang selalu gagal dalam mendapatkan pekerjaan hingga suatu kali ia tergoda menggunakan kemampuan hipnotisnya pada seorang wanita tua di ATM, demi untuk membayar uang sekolah anaknya.

Episode terakhir yang berjudul “PO Box” merupakan episode penutup yang menjelaskan koneksi dari setiap episode. Diepisode terakhir ini seorang wanita bernama Valdya mencoba mencari tahu tentang PO Box 888 misterius yang menyebabkan kakaknya menghilang.

Review

Jujur saya berharap series ini akan membuat saya terpesona tetapi secara keseluruhan arah ceritanya agak jauh dari ekspektasi awal saya.

Saya cukup antusias dengan genre horror scifi yang diambil meskipun agak sedikit diluar bayangan saya terutama di bagian endingnya. Setiap ceritanya memiliki koneksi dengan rentang tahun dari 1985 hingga 2024.

Episode pertama dari segi alur cerita dan para pemerannya sebenarnya sudah menarik tetapi sayang dari segi efek visualnya masih terasa kurang dan buat saya ini mempengaruhi untuk menikmati episodenya secara keseluruhan. Penampakan sosok yang menolak ritual itupun buat saya agak kurang klik tetapi dari segi make up nya lebih oke dibandingkan dengan efek visualnya.

Di episode kedua saya merasa lebih relate dengan konsep ceritanya yang mengaitkan harta dengan moral. Endingnya memang membuat saya menebak-nebak apa yang terjadi apalagi hanya karakter di episode ini yang tidak muncul di episode penutup.

Episode paling favorit buat saya adalah episode Poems & Pain, mungkin karena ada sisi supranatural di dalam ceritanya dan saya juga suka pengambilan gambar dan musiknya. Di episode keempat idenya cukup menggelitik dan efek visualnya terasa lebih halus. Akting Lukman Sardi langsung menjadi pusat perhatian di setiap adegannya.

Yang saya suka di episode kelima adalah nuansa bioskop jaman dulu yang ditampilkan. Tetapi dari segi cerita saya merasa salah fokus karena sebagian besar cerita berpusat pada Bandi tetapi tiba-tiba yang menjadi karakter utama kemudian adalah Dewi.

Episode keenam mungkin merupakan episode yang menurut saya paling relate dengan ending di episode ketujuh. Ali mengalami proses yang panjang untuk kemudian menjadi salah satu anggota dari Antibodi. Menurut saya efek nightmarenya juga lebih terasa bila keluarga kalian tiba2 berubah seperti di episode ini. Efek visual di episode ini pun menurut saya terbilang paling oke, yang paling saya suka adalah adegan di jam besar.

Episode ketujuh menjadi episode penutup yang memiliki adegan-adegan epic. Saya suka penampilan para villain nya tetapi dari segi action rasanya masih kurang. Mungkin akan memberi kesan lebih bila beberapa pemerannya berasal dari genre action. Sebenarnya saya sedikit berharap lebih pada karakter Valdya yang diperankan oleh Asmara Abigail, tetapi karakternya dibangun agak jauh dari bayangan saya.

Ada yang saya suka dan ada juga bagian yang terasa kurang. Koneksi antar episode sepertinya bisa lebih dipertajam sehingga seluruh episode terasa menjadi satu kesatuan. Dunia Agartha juga belum ditampilkan lebih dalam di season pertama ini, begitu pula dengan pemilihan setiap karakter dan siapa dibelakang pemilihan Antibodi ini.

Secara visual, makhluk-makhluk Agartha ini cukup mengerikan dan sejauh ini salah satu hasil karya terbaik di Indonesia walaupun untuk make up effect saya harus tetap memberikan tempat pertama untuk film “KKN di desa Penari” dan untuk visual effect saya memberikan tempat pertama pada “Teluh Darah”.

Tetapi secara gambaran besar menurut saya ide series ini menarik dan exciting, dan semoga series ini menjadi titik awal untuk perfilman Indonesia mencoba berbagai hal-hal baru dan menuangkan sisi-sisi imajinasi kreatifnya yang liar.

Kreator : Joko Anwar
Sutradara : Joko Anwar, Tommy Dewo, Ray Farandy Pakpahan, Randolph Zaini
Pemeran : Ario Bayu, Marissa Anita, Lukman Sardi, Nirina Zubir, Yoga Pratama, Kiki Narendra, Sita Nursanti, Fachry Albar, Asmara Abigail

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial
%d bloggers like this:
Verified by MonsterInsights