Setelah lebih dari satu dekade tertidur dalam senyap, Final Destination kembali menggeliat—kali ini dalam wujud Bloodlines, sebuah prekuel sekaligus penyambung benang merah dari kematian-kematian yang pernah kita saksikan dengan mata terbelalak dan napas tercekat.
Sinopsis. Film ini membuka tabir teror dengan kembali ke masa lalu—saat Iris dan kekasihnya, Paul, mengunjungi sebuah restoran baru yang bangunannya menjulang tinggi. Restoran berada di puncaknya, dan—seperti sengaja dirancang untuk mengundang malapetaka—sebagian besar dinding dan lantainya terbuat dari kaca bening.
Untuk mencapainya, para tamu harus menaiki lift yang sejak awal sudah menunjukkan tanda-tanda tak beres: tersendat, bergetar, seolah menahan napas. Dan seperti sudah menjadi ciri khas dunia Final Destination, keganjilan tak berhenti di situ.
Iris mulai merasakan sesuatu yang salah. Firasatnya, samar tapi menekan, memberi isyarat akan datangnya bencana. Namun yang paling mengerikan, setiap potongan mimpi buruk tentang kecelakaan itu justru hadir dalam tidur Stefani—cucu Iris di masa kini. Seolah mimpi itu adalah warisan… dan kematian tengah menelusuri garis keturunan untuk menyelesaikan yang belum tuntas.
Review. Bloodlines bukan sekadar parade kematian spektakuler. Ia mencoba menyelami akar dari konsep “kematian berencana” yang menjadi nyawa seri ini. Film ini menyuguhkan narasi yang lebih dalam dan personal, memperkenalkan karakter-karakter yang tidak hanya dikejar oleh takdir, tapi juga oleh sejarah keluarganya sendiri—sebuah garis keturunan yang tampaknya telah terikat dalam kontrak diam-diam dengan kematian itu sendiri.
Lewat atmosfer yang dingin dan suasana yang terus menegang, untuk pertama kalinya, kita dipertemukan dengan gagasan bahwa firasat bisa diwariskan, dan bahwa apa yang terjadi di masa lalu bisa menagih korban di masa kini.

Kematian dalam Bloodlines tidak datang begitu saja. Ia hadir dengan elegansi yang menyeramkan—terencana, lambat, lalu mendadak mematikan. Seperti biasa, setiap momen dirancang untuk membuat penonton gelisah. Sebuah baut longgar, tumpahan air, atau kilatan api kecil bisa jadi awal dari sebuah tragedi berlapis yang meledak di ujung kesabaran kita.
Kreativitas dalam mendesain adegan kematian masih menjadi kekuatan utama film ini. Sutradara Zach Lipovsky dan Adam B. Stein tampaknya paham bahwa rasa takut yang paling murni muncul dari hal-hal kecil yang terasa nyata. Maka setiap kematian pun jadi seperti tarian horor: kejam, estetis, dan tak bisa dihindari.
Walau masih ada karakter-karakter yang terasa datar dan fungsional (alias hanya hadir untuk jadi korban), film ini setidaknya mencoba memberi bobot emosional pada tokoh utamanya. Ada konflik batin, warisan keluarga, dan ketakutan yang lebih bersifat eksistensial—apakah kita benar-benar punya kendali atas hidup kita, atau semuanya hanya ilusi sebelum kematian datang menjemput.
Di balik semua darah dan jeritan, Bloodlines juga menyisipkan pertanyaan yang menggigit: Apakah kematian itu musuh, atau ia justru keseimbangan yang tak boleh dilawan? Lewat visual-visual yang simbolis dan dialog yang kadang lebih puitis dari yang kita harapkan, film ini menyelinap ke wilayah yang lebih filosofis, namun tetap mudah dicerna oleh penonton.
Final Destination: Bloodlines bukan sekadar usaha menghidupkan kembali waralaba horor lama. Ini adalah evolusi yang matang—masih setia pada akarnya, tapi berani menggali lebih dalam. Ia menakutkan bukan hanya karena darah yang tumpah, tapi karena ia mengingatkan kita bahwa hidup adalah serangkaian kebetulan yang mudah berubah menjadi malapetaka.
Film ini adalah pengingat yang tak nyaman: bahwa maut tidak pernah jauh. Ia sabar, ia menunggu. Dan ketika waktunya tiba, tak satu pun dari kita bisa lari darinya.
Sutradara : Zach Lipovsky, Adam B. Stein Penulis : Lori Evans Taylor, Guy Busick Pemeran : Kaitlyn Santa Juana, Teo Briones, Richard Harmon, Owen Patrick Joyner, Rya Kihlstedt, Anna Lore, Brec Bassinger, Tony Todd
Images © 2025 Warner Bros. Entertainment Inc.